Sabtu, 24 November 2012

Ibu Penjual Kerupuk



(23/11) saya melakukan sebuah wawancara dengan seorang penjual kerupuk, dalam proses mewawancarai saya mendapatkan beberapa pengalaman berharga. Saya bersama kelompok saya berusaha untuk mewawancarainya pada saat ia sedang berjualan, tapi nyatanya wanita paruh baya ini tidak berjualan karena kakinya yang sakit. Saya dan teman-teman kelompok saya berusaha untuk mencari tahu dimana alamat rumah ibu tersebut, dan alhamdulillah saya mendapatkan alamat rumahnya dari salah satu tetangganya yang bekerja tidak jauh dari tempat ibu itu berjualan.

Setelah mendapatkan alamat rumahnya, saya dan teman-teman kelompok saya segera bergegas datang kerumahnya. Ketika telah tiba dirumahnya saya langsung segera mewawancarainya dengan sangat sopan. Ibu itu mempunyai delapan orang anak, 4 diantaranya telah menikah. Dulu suami ia bekerja di Fakultas kedokteran Untar sebagai Office Boy, tapi kini suaminya telah pensiun. Suami dari ibu penjual kerupuk ini sangatlah berbeda dengan pria-pria yang lain, pria yang tidak memiliki tubuh yang tinggi ini dahulunya setelah pensiun ia menjual kerupuk di pelataran gedung J Untar namun karena rasa sakit yang ia rasakan pada kakinya yang kini membuat ia menjadi sulit untuk berjalan, maka mengharuskan istrinya yang meneruskan dagangannya.

Sehari-harinya ia hanya mengharapkan dapat makan hanya dari hasil menjual kerupuk saja, sedangkan ibu penjual kerupuk terkadang tidak bisa berjualan karena kaki ia sering sekali nyeri dan ngilu karena asam urat yang di derita olehnya. Jika satu hari ia tidak dagang, maka ia dan keluarganya tidak bisa makan, dan tidak ada yang bisa membantunya untuk memberikan makanan karena latar belakang tetangganya juga bernasib yang sama dengan dirinya. Kegiatan ia sehari-hari hanya berjualan kerupuk setelah itu ia juga harus menjaga suaminya yang sakit. Terkadang ia merasa kesal oleh suaminya yang suka marah kalau tidak dimasakkan tempe yang menjadi makanan kesukaannya itu dan terkadang berfikir untuk berhenti mengurus suaminya yang sakit dan meminta kepada Tuhan agar suaminya hidup bahagia di alam lain.

Dengan uang penghasilan menjual kerupuk, ia harus membayar uang kontrakan rumahnya yang sebesar Rp. 500.000,-/bulannya. Selain itu, ia juga menempati rumah yang menurut saya itu tidak layak untuk dihuni karena rumah kontrakan ia yang dekat sekali/bersebelahan dengan kandang ayam pemilik kontrakannya, yang kadang sering sekali saya harus mencium aroma yang tidak sedap dari kotoran ayam tersebut. Aroma itu tidak bagus untuk dihirup setiap hari karena bisa merusak paru-paru ibu penjual kerupuk dan keluarganya itu. Namun ibu tersebut tidak merasa terganggu dengan aroma tidak sedap itu, seolah-olah itu sudah menjadi makan sehari-harinya.

Ketika mewawancarainya, air mata saya jatuh bercucuran. Saya merasa sangat prihatin dengan apa yang telah ia jalani selama ini, ingin sekali saya membantunya namun apa daya saya? saya tidak bisa berbuat apa-apa. Setelah mewawancarai saya berfikir untuk memberikan ia uang semampu saya, memberikan makanan yang sehat untuk keluarga ibu penjual kerupuk, dan sangat ingiiiinnnnn sekali membelikan pispot untuk suaminya, karena ia tidak pernah terkumpul uangnya untuk membelikan pispot. Saya berharap, saya bisa mendapatkan rezeki untuk memberikan itu semua kepada ibu penjual kerupuk tersebut, dan saya juga dapat berfikir bahwa masih banyak sekali orang-orang yang masih di bawah kita. Selama ini saya masih kurang bersyukur atas apa yang telah Allah berikan rezekinya untuk saya, namun setelah melihat keluarga ibu penjual kerupuk membuat mata saya terbuka. Semoga saja saya bisa melakukan kebaikan kepada orang-orang yang membutuhkannya. Amin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar